Kamis, 24 Desember 2015

Penyair Kasih

Di malam Natal telah lahir seorang penyair:
Penyair Kasih.
Dari balik sajakNya berlindung sepasang burung merpati:
berbulu putih.

Penyair Kasih baru saja lahir.
TangisNya lirih merintih dingin angin mengalir,
di antara cinta kasih rindu dan letih yang bergulir,
dalam darahNya.
Darah kata-kata.

Dalam lelapNya di tengah tumpukan
jerami di kandang itu,
Penyair Kasih bermain puisi dengan
sekawanan domba di padang rumput
yang luas,
terang yang tak terbatas.
Sesekali dibacakanNya puisi untuk para domba
yang sedang tertidur pulas.

"Kasihilah sesamamu."

Penyair Kasih yang puitis,
huruf-huruf dalam sajakNya
dipanggulNya sendiri menuju
puncak kerinduan yang miris.

Ia rela berkorban,
demi kata-kata,
demi kita-kita,
demi sajak-sajak yang disegel
demi sajak-sajak yang disegel
demi sajak-sajak yang disegel
oleh waktu.
Dia tawarkan pengampunan.

(Malam Natal, 24 Desember 2015)



Pelukis Alis

Seorang pelukis sedang sibuk
melukis alis
di wajah seorang gadis
yang selalu tampil narsis
agar tetap tampak eksis.

Pensil alis yang digunakan oleh pelukis
terbuat dari gerimis dan tangis
seorang gadis berwajah manis,
namun hatinya miris.

"Aku juga ingin dilukis" pinta sang gadis.

"Kamu sudah terlalu indah tanpa sulam alis.
Sulam alis hanya untuk mereka yang
tidak percaya diri dengan penampilannya."

"Alisku merupakan jalan setapak menuju
musim penghujan di bawah kelopak mataku.
Aku ingin membuatnya lebih indah agar
tak ada lagi lelaki yang berani
bermain dengan airmataku."

Malam itu sang gadis melukis alisnya sendiri
untuk memalingkan perhatian lelaki
dari matanya yang sembab,
hati yang miris,
dan kenangan yang tragis.

(2015)


Jumat, 11 Desember 2015

Secangkir Senja

Selamat senja, kekasih.
Silahkan diminum kopi buatanku.
Kopi ini merupakan sisa-sisa kenangan kita yang pahit,
yang kuseduh dengan tetesan air hujan
yang berjatuhan dari bawah alis matamu.
Nikmatilah kopiku,
sambil kita memandangi mentari
yang perlahan-lahan sedang menenggelamkan jasadnya.
Tanpa perlu lagi kita saling berdebat
tentang bayangan siapa di antara kita yang lebih dulu lenyap.

Nikmatilah kopiku, kekasih.
Sampai nanti langit tak lagi
memancarkan fotosfer senja,
dan kamu tak lagi bisa bertingkah manja
kepadaku, kepada bahuku, kepada bibirku.
Lepaskanlah keresahanmu, kekasih.
Biarkan kita saling berpaling,
sebab kini semua cerita tentang kita telah sirna
diterpa hembusan angin khayal.
Tanpa perlu lagi kita saling berdebat
tentang cinta siapa di antara kita yang lebih dulu lenyap.

Nikmatilah pahitku, kekasih.
Agar kau tak lagi ragu untuk melepasku.
Melepas kata-kata dalam sajakku,
dan meletakkannya ke dalam cangkir kopimu.
Rona merah di langit senja ini,
rasa lelah tak terbendung lagi.
Bila malam nanti kau rasa begitu senyap,
Jangan lagi kau nanti bayanganku
yang telah ikut tenggelam bersama mentari senja.
Aku tak akan pernah bangun lagi, kekasih.
Aku tak akan pernah kembali bersama mentari pagi
yang selalu kau nanti sepanjang malam ini.
Aku tak akan kembali lagi.
Kenanglah aku di dalam secangkir kopi.
Kenanglah aku sebagai cinta yang telah mati.

(2015)


NISKALA

Pada suatu subuh aku mengenang kepergianmu.
Airmataku menjelma embun pagi yang menetes di antara dahan dan dedaunan,
lalu menguap seketika matahari menjelang dan membentuk lukisan
di antara perpaduan awan.
Pada akhirnya, airmataku menjelma hujan
yang menghasilkan genangan
di dalam kelopak mata kamu.
Genangan-genangan kenangan.
Ingin sekali aku mengumpulkan genangan kenangan itu.
Namun sayang, kini kelopak matamu
tak akan pernah bisa terbuka lagi.

(2015)



Pacar Posesif Paling Sadis

Kau bagai induk ayam
yang berwajah muram
ketika mengetahui anak-anakmu
diganggu oleh sekawanan yang bukan kelompokmu.

Dan aku ibarat anak ayam,
semakin hari semakin suram.
Kala tak mampu membendung egomu,
bagai belati mengoyak kebebasan semu.

Pacar posesif paling sadis,
di antara hubungan yang semakin miris,
ketika kutemui kau menangis,
di antara alam dan hutan yang semakin terkikis.

Pacar posesif paling sadis,
kelak waktu kita akan habis,
takkan kuhentikan desahan-desahan tangis,
yang merambat di wajahmu yang manis.

(2015)



Senin, 16 November 2015

IBU

untuk: Sylvia Maria Motoh

Di sebuah tidur,
kumasuki ruang mimpi
di teduhnya matamu.

Ibu,
Tanpamu aku hanya seonggok entah
yang diperolok semesta.
Padamu aku merebah dan tanamkan cinta.


(2015)



Makan Malam

Malam yang dingin seperti biasa,
aku berkeliling desa dengan sepeda pemberian ayah,
hasil dari jerih payah setelah bertahun-tahun
mencoba menjadi anak yang pintar,
pintar melamun dan menuliskan hal-hal yang
tak wajar.

Malam yang dingin seperti biasa,
aku mencari sesuap nasi dan segelas rindu
di warung sendu.
"Tidak usah pakai es," pinta hatiku yang sudah
terlanjur dingin karena terlalu sering bermain
dengan deru angin.
Sementara rindu diaduk, sementara hatiku terketuk.

Di bangku paling ujung,
Aku duduk berhadapan
dengan sepasang bola mata yang teduh.
Hidungnya yang mancung tak pernah lepas
dari tatapan mataku yang sedikit penasaran.

"Mbak pesan apa?" tanyaku.
"Aku pesan segelas puisi," jawabnya merdu.

Tiba-tiba aku tersentak, seakan ada yang bergejolak.

Malam itu, aku makan nasi dan kamu minum puisi.
Kita berdua saja, saling mengisi.

"Semoga bukan untuk saling menangisi," bisikmu sebelum pagi.


(2015)



Minggu, 15 November 2015

Empat Bait dari Muntilan

Dalam balut sinar bulan,
Kita dipertemukan.

Dingin angin tanpa pelukan.
Awal kebersamaan.

Dalam sorot mata seorang perempuan.
Rindu bertebaran.

Dalam cerita tentang persahabatan.
Kalian tak tergantikan.


(2015)





Pada Abad Ketiga


Jogja, 9 Juli 2309
untuk: rindu


Kaukah itu, rindu yang selama ini rebah?

Sembari memandangiku, matamu basah.

Dan akan selalu basah.

Biarkan menjadi lautan:

berlayarlah.

Semoga bahagia sampai tujuan.


(2015)





Rabu, 14 Oktober 2015

Di Balik Asap Riau

Di balik asap Riau,
tak mampu lagi kutatap bening matamu.
Mata sendu yang sedang berteduh,
di bawah alis lika-liku.

Di balik asap Riau,
tak mampu lagi kucium aroma tubuhmu.
Aroma khas dari tengkuk telingamu,
telah tercampur dengan bau abu.

Di balik asap Riau,
tak pernah lagi kudengar suara kicau burung,
tak ada lagi monyet bergelantung,
di antara pohon hutan lindung.

Di balik asap Riau,
tak mampu lagi aku berharap.
Abu-abu kebakaran tersesap,
oleh gairah pengusaha yang tak bertanggung jawab.

Pun di balik asap Riau,
paru-paru manusia tersesak.
anak-anak kecil terisak.
kaum-kaum muda berteriak,
mendesak pemerintah untuk segera bertindak.

Ayo jangan mengelak.
Kita semua harus bergerak.
Pembakaran liar sudah semakin marak.
Hutan Sumatera sudah semakin rusak.
Korban-korban yang tergeletak
pun semakin banyak,
semakin erak,
tak mampu untuk mengelak,
tak cakap untuk berontak.

Hutan tropis sudah semakin tipis.
Terkikis habis oleh pengusaha berlakon klimis.

Apa mesti anak cucu kita hanya bisa
memafhumi indahnya alam negeri ini
hanya dari cerita-cerita miris seperti ini?

Lantaran alam Indonesia itu indah,
Kusulam puisi ini dengan penuh resah,
Ditemani kunang-kunang yang tenang merebah,
Di tengah kepulan asap yang semakin parah.



(Duri, Riau - 2 Oktober 2015)

Sajak Landak Mini

Aku ingin berkelana di antara relung sajak,
mencoba menyatukan kata yang masih berjarak.
Tetapi yang kutemukan malah seekor landak,
Landak mini yang galak.

Kutinggalkan sajakku,
Kubiarkan tetap ada jarak,
di antara kata dan kita.


(Duri - Riau, 12 Oktober 2015)




Surat Terakhir Untuk Bry

Bry,
Landak mini yang lugu,
Tatapan matamu lucu,
terkadang sayu.
Tingkahmu kayak asu,
Bikin emosi, tapi lucu.

Kau temanku yang bodoh,
Ketika kelaparan, kau mondar-mandir ke setiap sudut kandang,
Menunggu makanan tuk secepatnya datang.
Terkadang,
Seharian penuh kau tak makan,
Tapi kau tak meradang.

Di tengah dinginnya malam,
Kau hanya bisa meringkuk di sudut kandang,
Dengan bulu-bulu lucumu menggigil,
Kedinginan.

Bry,
Walau tak seharian kau tak kuberi makan
ataupun minuman,
Kau tak pernah marah.

Atau kau tak bisa marah?
Kenapa kau tak marah, Bry?

Gigit saja jidatku,
Tusuk saja aku,
Dengan bulu-bulumu yang tajam,
Menghujam,
Karena aku memang kejam, Bry.

Maafkan Bry,
Karena aku tak sempat untuk,
berbagi waktu,
berbagi cerita,
berbagi kasih denganmu.

Karena aku tau,
Walau kau hanya seekor hewan bodoh,
Kau tetap makhluk hidup,
Kau tetap ciptaan Yang Kuasa,
Kau tetap memiliki rasa.

Sekarang Bry yang malang telah pergi,
Tinggalkan kenang tuk mencari arti,
Dalam ruang yang abadi.

Kini kau telah tenang dalam bayang-bayang
yang terbias terang.
Jiwamu terbang bersama kunang-kunang.
Segala resahmu hilang.
Lenyap ke dalam remang bintang-bintang.

Selamat jalan, Bry.
Tak akan lagi kau temukan orang yang mampu membuatmu menahan lapar.
Aku percaya itu.



(Duri, Riau – 12 Oktober 2015)






Di Dalam Sebotol Ciu

Di dalam sebotol ciu;

kau menjelma menjadi simfoni-simfoni indah

yang mengalir perlahan

di setiap sel dan jaringan tubuhku.

Kau rasuki aku,

Kau racuni aku,

Kau cumbu aku,

Kau membuatku melayang,

Hingga jiwaku terbang,

Bersama kunang-kunang,

Bersama bintang-bintang,

Bersama kenang-kenang,

Bersama terang-terang,

Terang remang-remang,

Remang kenang-kenang,

Kenang tingkah jalang.

Kenang cinta yang hilang.



Dicky Cahyadi
Duri - Riau, 1 Oktober 2015





Minggu, 27 September 2015

Angin Malam

Semalam kudengar desahanmu
merambat di sela dinding-dinding kamar
yang dingin,
Sungguh sangat mengganggu aku yang
sedang sibuk bersenda gurau dengan
desauan angin.

Sang angin memintaku:
"Ambillah sebuah gitar, ciptakan sebuah
lagu untukku."

Kuterima tantangan sang angin,
Kuambil sebuah gitar yang penuh
dengan sarang laba-laba,
Gitar yang terakhir kali kumainkan
bersamamu, tentang lagu-lagu yang
pernah kita ciptakan berdua.

"Ciptakan inspirasi untukku,
kepalaku sedang mumet dipenuhi oleh
kenang-kenang yang tak kunjung hilang,"
pintaku kepada angin.
Lalu sang angin meniup wajahku pelan-pelan.

Rinduku hanyut dalam silirnya angin malam,
Terpejam mataku, dinginnya malam
membawaku ke lantunan nada-nada minor,
yang dengan sendirinya bercerita,
di antara jari-jari tangan yang berpadu
dengan dawai-dawai gitar yang berdebu.

Semakin malam, semakin larut jiwaku
berdendang bersama angin malam.
Suasana yang begitu aku rindukan
di saat kelam dan hampir terpejam.
Suara-suara indah mengiringi
malam ini menuju pagi.

Syahdu, sendu, dan rindu menjadi satu.

Hingga,
Tak kuingat lagi suara desahanmu,
Tak kuingat lagi kepergianmu,
Tak kuingat lagi tentang luka di hati,
bahwa kini kau sedang berbagi desah
dengan yang lain.
Aku mulai menikmati setiap waktu
bersama silir angin malam, nada-nada kelam,
yang tersulam di balik diam.

Sudah hampir jam tiga pagi,
Perlahan-lahan suara angin berhenti bernyanyi,
Kulihat sang angin tertidur di sela-sela ketiakku,
"Indah sekali tidurmu," batinku.

Suasana pun menjadi sunyi,
Kuletakkan gitar, terdiam ku merebah
dan melamun,
Sayup dari balik dinding-dinding kamar
yang dingin;
Kudengar suara tangisan lirih.

Astaga, ternyata yang kudengar
semalam bukan suara desahan,
melainkan suara tangismu yang
terpantul di atas
genangan-genangan kenangan
di sudut kamarmu.

Walau begitu,
Kuurungkan niatku untuk mengumpulkan
genangan-genangan airmata kamu,
seperti yang biasa aku lakukan -dulu-
saat aku masih suka berteduh di bawah mata kamu
ketika musim penghujan tiba.

Untuk malam ini dan seterusnya,
Aku mulai mencintai angin malam.



Dicky Cahyadi
Duri, Riau, 27 September 2015





Doa Kesepian

Berilah kami rejeki pada hari ini
dan ampunilah kehampaan kami
seperti kami pun mengampuni
yang meninggalkan kami dalam kesepian
yang melemahkan kekuatan
yang meredupkan harapan

.....

dan bebaskanlah segala kenangan
dari yang jahat

Amin.



- Dicky Cahyadi -
(Duri, Riau - 23 September 2015)



Sungai Siak

Bila Sungai Siak adalah sungai terdalam,
Maka jalan menuju palung hatimu adalah
lautan terdalam yang pernah aku selami,
sayang.

Aku tenggelam dalam dingin.


(Pekanbaru, 23 Juli 2015)





Bila Akhirnya Kamu Memilih Pergi

Dan bila akhirnya kamu memilih untuk pergi,

Pergilah bersama puisi-puisi kecilku.

Biar ada yang menemanimu minum hazelnut,

Ketika engkau larut dalam senja dan penat.


(Pekanbaru, 23 Juli 2015)





Obituari Rasa

"Yang fana adalah waktu.
Kita abadi," kata Sapardi.

Merangkai sepi demi sepi,
menjadi sekuntum bunga mawar merah
yang mekar merekah,
padahal tangkainya berdarah.

Sampai pada suatu waktu,
semua jadi tak menentu.

"Yang fana adalah kamu.
Kita adalah rindu,
yang perlahan-lahan pergi,
lalu mati,"
bisik Cahyadi.


(Dicky Cahyadi - Jogja, 21 Juni 2015)

terinspirasi puisi 'Yang Fana Adalah Waktu' karya Prof. Sapardi Djoko Damono.





Tentang Senyuman

Ribuan sinestesi terangkai kala ku tatap
siluet tubuhmu di balik fotosfera ini,
sementara kamu sibuk melemparkan
seikat pun sekuntum senyuman.

Sepanjang musim kamu hanya bisa tersenyum,
bermain bersama delusi-delusi berkesinambungan,
berdiskusi bersama bayangan,
tatkala tak ada rindu yang datang, kamu masih tersenyum.

Walau dipeluk oleh psikodelia
yang tinggal dalam dirimu,
kamu selalu mencoba untuk bersyukur
dalam raung kesendirian
bersama senyuman-senyuman.

Senyuman yang lebih terang dibanding
cahaya obor yang mereka bawa ketika
mencari diriku yang tenggelam ke dalam matamu,
ke dalam ragamu,
ke dalam rindumu,
ke dalam nafasmu,
ke dalam alam mimpimu.

Satu kebodohan yang selalu aku sesali adalah
sangkaanku bahwa akulah satu-satunya bunga
yang tumbuh di taman mimpimu,
Sementara kamu sang lebah, pasti mencari
madu terbaik yang ada di taman mimpi itu.
"Taman keniscayaan," batinku.

"Siapa saja mereka yang turut membantu
mencari jasadku di taman mimpimu?"

Aku tersentak,
Aku hanya bisa menatap siluet tubuhku
di balik fotosfera ini,
fotosfera senja,
yang didera manja.
Sambil melemparkan seikat pun sekuntum senyuman,
ke dalam tatapanmu.

Aku suka mata sipit kamu,
Sama seperti cahaya bulan sabit -yang bagiku-
merupakan jelmaan dari senyuman-Nya.

Dalam kekosongan, aku berbisik:
"Hal yang paling sakral adalah ketika aku melihat
senyuman-Nya di dalam sinar matamu,
sinar kehidupan."

Lalu aku berdoa.

".............."

"Amin."



(Dicky Cahyadi - Jogja, 27 Juni 2015)




TIGA WINDU

Tepat hari ini, sudah tiga windu,
Dalam imajinasiku, aku masih ingat apa yang terjadi di hari itu.

Kala itu, bapakku yang masih miskin,
miskin akan perhiasan uban di kepalanya,
mengajakku bersenda gurau dengan kata-kata lucu.
Kala itu, ibuku yang sudah kaya,
kaya akan rasa sakit selama 8 bulan aku tendang dinding rahimnya,
mengajakku bercerita tentang cinta.

Selayaknya bayi yang baru lahir, aku hanya bisa menangis.

"Dicky, jangan menangis terus.
Tidurlah, papa akan senantiasa menjaga tidurmu,"
begitu bisik bapakku di telinga mungilku sebelah kanan.
Sementara ibuku memberi ASI kepadaku,
sembari mengelus-elus kepalaku yang masih botak,
sesekali mencium jidatku yang hampir penuh dengan barisan puisi.

Kemudian aku pun terlelap. Pulas sekali.
Mungkin hanya putri salju yang bisa membangunkanku dengan mencium bibirku.

Dalam tidurku, aku menjelma menjadi seorang remaja tampan.
Aku menikmati keindahan alam semesta.
Menikmati puncak gunung dan masuk ke dalam goa.
Aku belajar tentang peleburan rasa,
tentang mencintai dan dicintai.
Aku belajar tentang memiliki dan kehilangan.
Memiliki banyak sahabat yang seperti asu,
pun tentang musuh-musuh yang pandai berpura-pura baik.
Aku belajar merasakan kasih sayang dan dosa,
Tentang nikmatnya rindu dan rintik hujan,
Tentang syahdunya tangga nada E Minor,
sampai tentang tatapan mata dan kata-kata puisi.

Juga tentang populasi harimau yang semakin sedikit.
Tentang orangutan yang semakin langka.
Tentang hujan tropis yang berubah menjadi asap dan abu.
Tentang keindahan gunung yang dijadikan ajang komersialisasi.
Atau tentang kasus korupsi FIFA, di mana para pelakunya -mungkin- merasa iri
dengan Indonesia yang hebat ini, karena bisa memberikan praperadilan terhadap para tersangka koruptor.

Bukan itu saja,
Mimpiku yang paling buruk adalah ketika aku mengetahui
bahwa negeri ini mempermainkan nyawa orang lain di Nusakambangan,
Atau mungkin tentang Maya dan Angeline yang meninggal dengan tidak wajar.

Iya, panjang sekali mimpiku.
Mungkin aku dilahirkan memang untuk menjadi seorang pemimpi.

Sepanjang-panjangnya mimpiku tentang kehidupan ini,
masih lebih panjang kasih sayang yang diberikan orangtua kepadaku.

Kunikmati mimpi demi mimpi,
Kunikmati ide demi ide,
Kunikmati rasa demi rasa.

Namun tiba-tiba ada suara yang mengagetkanku:

~ Kriiinnggg ...... Kriiiinnggg ...... Kriiiiinnggg ~
~ Kriiinnggg ...... Kriiiinnggg ...... Kriiiiinnggg ~

Jam wekerku berbunyi keras sekali.
"Asu, sudah jam 9, aku kesiangan," seruku.
Segera kuambil handuk dan bergegas mandi.

Setelah tiga windu menikmati mimpi demi mimpi,
aku kesiangan untuk menentukan masa depanku.

................

(Dicky Cahyadi - Jogja, 13 Juni 2015)





Sabtu, 28 Februari 2015

Airmata Senja

Awan mendung;
Awan terangkai awan
Menjadi gumpalan hitam yang tadinya putih
Seakan langit mampu menopangnya sendiri
~
Awan memangku awan
Tak ada yang tahu seberapa kuat langit menahan
Sampai airmata itu berjatuhan.

Beban Kehidupan:
Beban terangkai beban
Menjadi cerita kelam yang terlebur perih
Seakan hati mampu menopangnya sendiri
~
Beban memikul beban
Bila tak dilepaskan, pun beban takkan tertahan
Sampai airmatamu berjatuhan.


Kinanti;
Tak usah kau cari cahaya sore ini
Awan pun tak mampu memikul beban
Fotosfera itu hanyalah cerita
dari mereka yang mencari senja

Rintik-rintik ini;
Ku genggam payung di sudut nestapa
yang hanya cukup untuk berdua
Tapi jiwamu memilih pergi
Ke tengah derasnya gulana

Dan Kekasih:
Airmata senja membasahi alun-alun denggung
Tetapi kemarau di pundakku menetap
Sebab di Sabtu sore
Engkaulah hujan yang selalu aku nantikan.


-Dicky Cahyadi-
Sabtu sore, 28 Februari 2015

Par asu t

Parasutku adalah parasutku

Parasutmu adalah parasutmu

~ Terbanglah sebebas-bebasnya bebas ~

Kita tahu

Parasut kita takkan pernah bertemu

Sampai kita berpulang

Bersama senja yang kita rindu
-

(Landas Pacu Paralayang, Bukit Parangndog, Parangtritis, 21 Februari 2015)

Kunang-Kunang

Di ufuk barat,
senja begitu menawan.
Mari persiapkan dian,
tuk terangi malam tuan.
Sementara utara Jogja semakin kelam,
tertutup awan berawan angan.

Tak usah kau cari.
Di balik awan,
Merapi sedang mencumbu merbabu.
~~~

Tak usah kau kenang.
Di balik angan,
Sukmanya hilang dalam cumbu sang malam.
~~~

Memang berat untuk dikenang,
Yang kau butuhkan hanya seekor kunang-kunang,
Tuk menemanimu memberi terang,
Tuk menemanimu di riak genangan,
.................................
(setetes demi setetes)
Sepanjang malam, kawan.


-dicky cahyadi-

Minggu, 01 Februari 2015

Suatu sore di Jakarta Selatan


Duduk manis,
silahkan bercerita.
Duhai nona manis,
yang digenggam derita.
Aku tahu ini miris,
tapi tak apa.
Daripada engkau selalu menahan tangis,
sementara mereka tertawa ria.

(Sore itu gerimis, kendaraan macet tertata,
suara klakson berdendang tragis, membahana di ibukota)

Duduk manis,
silahkan bercerita.
Dunia memang sadis,
tanpa mengenal kita.
Seperti hati kaum proletar yang miris,
berjuang di ibukota.
Kau tahu, nona manis?
Ini Jakarta.

(Sebatang rokokku sudah habis,
matanya masih berkaca-kaca)

Tak ada tempat untuk menangis,
tiap jiwa menggenggam cita.
Tak ada ruang bagi pengemis,
yang selalu meminta cinta.
Kau tahu, nona manis?
Ini Jakarta.
Sebagian kaum berlaku pragmatis,
Hidup demi harta dan tahta.

Duhai nona manis,
lepaskan gundah gulana.
Berhenti menangis,
mari bercinta.


dicky cahyadi - desember 2014

Tentang Bayangan

Menyulam diam dalam kelam
Semakin malam semakin dalam
Kunikmati alam bersama daging haram
Dan tenteram, semakin tajam.

Merasuk perlahan dalam angan-angan
Mengukir kenangan bersama teman-teman
Bermain dengan bintang-bintang menyerupai intan
(Kadang, ada yang kelihatan seperti binatang)
Berkilauan sebelum awan hujan
Datang menghapus bayangan

Bayangan yang perlahan hilang
Senyuman yang perlahan terbang
Menuju sanubari kau telanjang
Kau lukis bayangan kita di atas ranjang
Sambil berayun-ayun, engkau bilang,
"Semalam saja, sayang"
Lalu kau hilang

Segala angan-angan tinggal kenangan.
Tak tersisa walau hanya bayangan.


November 2014