Tepat hari ini, sudah tiga windu,
Dalam imajinasiku, aku masih ingat apa yang terjadi di hari itu.
Kala itu, bapakku yang masih miskin,
miskin akan perhiasan uban di kepalanya,
mengajakku bersenda gurau dengan kata-kata lucu.
Kala itu, ibuku yang sudah kaya,
kaya akan rasa sakit selama 8 bulan aku tendang dinding rahimnya,
mengajakku bercerita tentang cinta.
Selayaknya bayi yang baru lahir, aku hanya bisa menangis.
"Dicky, jangan menangis terus.
Tidurlah, papa akan senantiasa menjaga tidurmu,"
begitu bisik bapakku di telinga mungilku sebelah kanan.
Sementara ibuku memberi ASI kepadaku,
sembari mengelus-elus kepalaku yang masih botak,
sesekali mencium jidatku yang hampir penuh dengan barisan puisi.
Kemudian aku pun terlelap. Pulas sekali.
Mungkin hanya putri salju yang bisa membangunkanku dengan mencium bibirku.
Dalam tidurku, aku menjelma menjadi seorang remaja tampan.
Aku menikmati keindahan alam semesta.
Menikmati puncak gunung dan masuk ke dalam goa.
Aku belajar tentang peleburan rasa,
tentang mencintai dan dicintai.
Aku belajar tentang memiliki dan kehilangan.
Memiliki banyak sahabat yang seperti asu,
pun tentang musuh-musuh yang pandai berpura-pura baik.
Aku belajar merasakan kasih sayang dan dosa,
Tentang nikmatnya rindu dan rintik hujan,
Tentang syahdunya tangga nada E Minor,
sampai tentang tatapan mata dan kata-kata puisi.
Juga tentang populasi harimau yang semakin sedikit.
Tentang orangutan yang semakin langka.
Tentang hujan tropis yang berubah menjadi asap dan abu.
Tentang keindahan gunung yang dijadikan ajang komersialisasi.
Atau tentang kasus korupsi FIFA, di mana para pelakunya -mungkin- merasa iri
dengan Indonesia yang hebat ini, karena bisa memberikan praperadilan terhadap para tersangka koruptor.
Bukan itu saja,
Mimpiku yang paling buruk adalah ketika aku mengetahui
bahwa negeri ini mempermainkan nyawa orang lain di Nusakambangan,
Atau mungkin tentang Maya dan Angeline yang meninggal dengan tidak wajar.
Iya, panjang sekali mimpiku.
Mungkin aku dilahirkan memang untuk menjadi seorang pemimpi.
Sepanjang-panjangnya mimpiku tentang kehidupan ini,
masih lebih panjang kasih sayang yang diberikan orangtua kepadaku.
Kunikmati mimpi demi mimpi,
Kunikmati ide demi ide,
Kunikmati rasa demi rasa.
Namun tiba-tiba ada suara yang mengagetkanku:
~ Kriiinnggg ...... Kriiiinnggg ...... Kriiiiinnggg ~
~ Kriiinnggg ...... Kriiiinnggg ...... Kriiiiinnggg ~
Jam wekerku berbunyi keras sekali.
"Asu, sudah jam 9, aku kesiangan," seruku.
Segera kuambil handuk dan bergegas mandi.
Setelah tiga windu menikmati mimpi demi mimpi,
aku kesiangan untuk menentukan masa depanku.
................
(Dicky Cahyadi - Jogja, 13 Juni 2015)