Jumat, 11 Desember 2015

Secangkir Senja

Selamat senja, kekasih.
Silahkan diminum kopi buatanku.
Kopi ini merupakan sisa-sisa kenangan kita yang pahit,
yang kuseduh dengan tetesan air hujan
yang berjatuhan dari bawah alis matamu.
Nikmatilah kopiku,
sambil kita memandangi mentari
yang perlahan-lahan sedang menenggelamkan jasadnya.
Tanpa perlu lagi kita saling berdebat
tentang bayangan siapa di antara kita yang lebih dulu lenyap.

Nikmatilah kopiku, kekasih.
Sampai nanti langit tak lagi
memancarkan fotosfer senja,
dan kamu tak lagi bisa bertingkah manja
kepadaku, kepada bahuku, kepada bibirku.
Lepaskanlah keresahanmu, kekasih.
Biarkan kita saling berpaling,
sebab kini semua cerita tentang kita telah sirna
diterpa hembusan angin khayal.
Tanpa perlu lagi kita saling berdebat
tentang cinta siapa di antara kita yang lebih dulu lenyap.

Nikmatilah pahitku, kekasih.
Agar kau tak lagi ragu untuk melepasku.
Melepas kata-kata dalam sajakku,
dan meletakkannya ke dalam cangkir kopimu.
Rona merah di langit senja ini,
rasa lelah tak terbendung lagi.
Bila malam nanti kau rasa begitu senyap,
Jangan lagi kau nanti bayanganku
yang telah ikut tenggelam bersama mentari senja.
Aku tak akan pernah bangun lagi, kekasih.
Aku tak akan pernah kembali bersama mentari pagi
yang selalu kau nanti sepanjang malam ini.
Aku tak akan kembali lagi.
Kenanglah aku di dalam secangkir kopi.
Kenanglah aku sebagai cinta yang telah mati.

(2015)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar