Rabu, 14 Oktober 2015

Di Balik Asap Riau

Di balik asap Riau,
tak mampu lagi kutatap bening matamu.
Mata sendu yang sedang berteduh,
di bawah alis lika-liku.

Di balik asap Riau,
tak mampu lagi kucium aroma tubuhmu.
Aroma khas dari tengkuk telingamu,
telah tercampur dengan bau abu.

Di balik asap Riau,
tak pernah lagi kudengar suara kicau burung,
tak ada lagi monyet bergelantung,
di antara pohon hutan lindung.

Di balik asap Riau,
tak mampu lagi aku berharap.
Abu-abu kebakaran tersesap,
oleh gairah pengusaha yang tak bertanggung jawab.

Pun di balik asap Riau,
paru-paru manusia tersesak.
anak-anak kecil terisak.
kaum-kaum muda berteriak,
mendesak pemerintah untuk segera bertindak.

Ayo jangan mengelak.
Kita semua harus bergerak.
Pembakaran liar sudah semakin marak.
Hutan Sumatera sudah semakin rusak.
Korban-korban yang tergeletak
pun semakin banyak,
semakin erak,
tak mampu untuk mengelak,
tak cakap untuk berontak.

Hutan tropis sudah semakin tipis.
Terkikis habis oleh pengusaha berlakon klimis.

Apa mesti anak cucu kita hanya bisa
memafhumi indahnya alam negeri ini
hanya dari cerita-cerita miris seperti ini?

Lantaran alam Indonesia itu indah,
Kusulam puisi ini dengan penuh resah,
Ditemani kunang-kunang yang tenang merebah,
Di tengah kepulan asap yang semakin parah.



(Duri, Riau - 2 Oktober 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar