Malam yang dingin seperti biasa,
aku berkeliling desa dengan sepeda pemberian ayah,
hasil dari jerih payah setelah bertahun-tahun
mencoba menjadi anak yang pintar,
pintar melamun dan menuliskan hal-hal yang
tak wajar.
Malam yang dingin seperti biasa,
aku mencari sesuap nasi dan segelas rindu
di warung sendu.
"Tidak usah pakai es," pinta hatiku yang sudah
terlanjur dingin karena terlalu sering bermain
dengan deru angin.
Sementara rindu diaduk, sementara hatiku terketuk.
Di bangku paling ujung,
Aku duduk berhadapan
dengan sepasang bola mata yang teduh.
Hidungnya yang mancung tak pernah lepas
dari tatapan mataku yang sedikit penasaran.
"Mbak pesan apa?" tanyaku.
"Aku pesan segelas puisi," jawabnya merdu.
Tiba-tiba aku tersentak, seakan ada yang bergejolak.
Malam itu, aku makan nasi dan kamu minum puisi.
Kita berdua saja, saling mengisi.
"Semoga bukan untuk saling menangisi," bisikmu sebelum pagi.
(2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar