Ribuan sinestesi terangkai kala ku tatap
siluet tubuhmu di balik fotosfera ini,
sementara kamu sibuk melemparkan
seikat pun sekuntum senyuman.
Sepanjang musim kamu hanya bisa tersenyum,
bermain bersama delusi-delusi berkesinambungan,
berdiskusi bersama bayangan,
tatkala tak ada rindu yang datang, kamu masih tersenyum.
Walau dipeluk oleh psikodelia
yang tinggal dalam dirimu,
kamu selalu mencoba untuk bersyukur
dalam raung kesendirian
bersama senyuman-senyuman.
Senyuman yang lebih terang dibanding
cahaya obor yang mereka bawa ketika
mencari diriku yang tenggelam ke dalam matamu,
ke dalam ragamu,
ke dalam rindumu,
ke dalam nafasmu,
ke dalam alam mimpimu.
Satu kebodohan yang selalu aku sesali adalah
sangkaanku bahwa akulah satu-satunya bunga
yang tumbuh di taman mimpimu,
Sementara kamu sang lebah, pasti mencari
madu terbaik yang ada di taman mimpi itu.
"Taman keniscayaan," batinku.
"Siapa saja mereka yang turut membantu
mencari jasadku di taman mimpimu?"
Aku tersentak,
Aku hanya bisa menatap siluet tubuhku
di balik fotosfera ini,
fotosfera senja,
yang didera manja.
Sambil melemparkan seikat pun sekuntum senyuman,
ke dalam tatapanmu.
Aku suka mata sipit kamu,
Sama seperti cahaya bulan sabit -yang bagiku-
merupakan jelmaan dari senyuman-Nya.
Dalam kekosongan, aku berbisik:
"Hal yang paling sakral adalah ketika aku melihat
senyuman-Nya di dalam sinar matamu,
sinar kehidupan."
Lalu aku berdoa.
".............."
"Amin."
(Dicky Cahyadi - Jogja, 27 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar