Rabu, 24 Agustus 2016

Pagi Ini Kamu Menjelma Doa-Doa

Pagi ini kamu menjelma doa-doa yang aku ucapkan sendirian ; tanpa kesedihan.

Karena setiap nestapa yang pernah ada telah berhasil kusingkirkan ; walau kesepian.

Bersama detak jam di dinding kamar yang seakan saling berkejaran ; dengan harapan.

Seakan berhasil melepas beban demi beban kehidupan ; dengan keikhlasan.

Karena pernah tercipta cerita sendu yang terlebur angan : tentang masa depan.

Tentang sebuah tanda tanya besar akan sebuah perjumpaan : yang entah kapan.

Sampai akhirnya kamu terbawa dalam sebuah percakapan : yang penuh bualan.

Semakin sore semakin tenggelam ke dalam rayu-rayuan : tanpa tujuan.

Lalu kamu semakin tenggelam, tenggelam, mati tenggelam : di bibir lautan.

Bayang-Bayang Bulan Remang-Remang

Malam yang panjang, aku telanjang di ujung jalan.
Bulan mengembang,
membias cahaya yang terangnya remang-remang,
menghasilkan bayang-bayang
yang merasuk setiap sudut terang.

Dalam pikiranku, memang, kaulah sang pemenang.
Dalam hatikupun kau yang paling benderang.
Harapanku : jangan pernah hilang, tetaplah terang.

Walau waktu tak pernah menjadi milikku,
Aku tak pernah ragu pada kehadiranmu di mimpiku.
Di bawah bayang-bayang bulan remang-remang.
Aku tak akan pernah merindukan siang.

Malam semakin panjang, aku menerjang angan-angan.
Menanggung harapan.

Walau perlahan-lahan,
Kau semakin hilang dalam pandang.



Condramaya

Pada suatu malam aku melihat bayangan bulan.
Sepi menjelma kata.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjelma kata.

Bayangan bulan menepi perlahan,
tertutup awan.
Suara angin malam adalah suara keheningan.
Bulan seakan merasakan kesedihan.
Di tengah musim kesepian,
Muncul wajah kamu perlahan.

Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan.
..... Lalu apakah harapan?

Harapan adalah karena matahari terbit aku bisa melihat senyummu.
Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena kamu hidup dalam puisiku.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Ataukah aku telah merasakan sesuatu di Punthuk Setumbu?

Sinar matamu, fotosfer semu.
Kamu yang lugu, aku rindu.



Selasa, 10 Mei 2016

Sepasang Sayap

Kusulam sepasang sayap
dari benang sajak yang tersimpan di lemari
lalu kuberikan padamu.
Kubiarkan terbang bebas.
Hai, terbanglah sebebas-bebasnya.
Begitulah sebaik-baik aku mencintaimu.

Bila akhirnya kau kembali
kan kuajak kau memadu kicau.
Namun bila tak kunjung balik
pun takkan pernah ada deru tangis
tak kan pernah ada sesal yang berarti.
Begitulah sebaik-baik aku mencintai diriku.

Karena yang sejati akan datang kembali
tanpa harus dinanti.
Karena si pemain hati akan mati sendiri
tanpa perlu disesali.


(2016)


Minggu, 01 Mei 2016

Wanita Pewarta Sabda Gembira

Setelah lama tak melihat cahaya matamu yang sempat hilang karena dikekang rindu,
akhirnya aku menemukannya kembali sore ini, ditemani waktu.

Teriring sabda dari kitab Wahyu, cahaya matamu membelalakkan retina mataku.
Saat itu ; saat udara dalam gereja begitu syahdu. Saat aku bersembunyi di balik sabda-sabdamu. Saat tak ada waktu untuk kita bertemu, saling menjamu.

Cahaya matamu seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti kristal.
dan engkau tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyempurnakannya, sebab senyumanmu adalah pelitanya.

(2016)



Selasa, 05 April 2016

Pantai

Ada yang terseret dari deburan ombak di pantai sore ini,
bersama senja yang perlahan pamit di kejauhan,
cerita tentang kita pun mulai berguguran,
menggulung relung terseret ombak
di pantai sunyi,
pantai tirani.

Menunggang sepi yang semakin mengikis karang,
rindu yang dihadang sejuta kenang-kenang,
benderang luka yang bercahaya terang,
dari balik siluet senja temaram.
Terbawa angin laut yang selalu menerjang,
Lalu hilang.

Atas nama hatimu yang sekeras batu karang,
Aku berhenti berperang.


(Pantai Ngobaran, 23 Januari 2016)