tak mampu lagi kutatap bening
matamu.
Mata sendu yang sedang
berteduh,
di bawah alis lika-liku.
Di balik asap Riau,
tak mampu lagi kucium aroma
tubuhmu.
Aroma khas dari tengkuk
telingamu,
telah tercampur dengan bau
abu.
Di balik asap Riau,
tak pernah lagi kudengar
suara kicau burung,
tak ada lagi monyet
bergelantung,
di antara pohon hutan
lindung.
Di balik asap Riau,
tak mampu lagi aku berharap.
Abu-abu kebakaran tersesap,
oleh gairah pengusaha yang
tak bertanggung jawab.
Pun di balik asap Riau,
paru-paru manusia tersesak.
anak-anak kecil terisak.
kaum-kaum muda berteriak,
mendesak pemerintah untuk
segera bertindak.
Ayo jangan mengelak.
Kita semua harus bergerak.
Pembakaran liar sudah semakin
marak.
Hutan Sumatera sudah semakin
rusak.
Korban-korban yang tergeletak
pun semakin banyak,
semakin erak,
tak mampu untuk mengelak,
tak cakap untuk berontak.
Hutan tropis sudah semakin
tipis.
Terkikis habis oleh pengusaha
berlakon klimis.
Apa mesti anak cucu kita hanya
bisa
memafhumi indahnya alam
negeri ini
hanya dari cerita-cerita
miris seperti ini?
Lantaran alam Indonesia itu
indah,
Kusulam puisi ini dengan
penuh resah,
Ditemani kunang-kunang yang
tenang merebah,
Di tengah kepulan asap yang
semakin parah.
(Duri, Riau - 2 Oktober 2015)