Sabtu, 28 Februari 2015

Airmata Senja

Awan mendung;
Awan terangkai awan
Menjadi gumpalan hitam yang tadinya putih
Seakan langit mampu menopangnya sendiri
~
Awan memangku awan
Tak ada yang tahu seberapa kuat langit menahan
Sampai airmata itu berjatuhan.

Beban Kehidupan:
Beban terangkai beban
Menjadi cerita kelam yang terlebur perih
Seakan hati mampu menopangnya sendiri
~
Beban memikul beban
Bila tak dilepaskan, pun beban takkan tertahan
Sampai airmatamu berjatuhan.


Kinanti;
Tak usah kau cari cahaya sore ini
Awan pun tak mampu memikul beban
Fotosfera itu hanyalah cerita
dari mereka yang mencari senja

Rintik-rintik ini;
Ku genggam payung di sudut nestapa
yang hanya cukup untuk berdua
Tapi jiwamu memilih pergi
Ke tengah derasnya gulana

Dan Kekasih:
Airmata senja membasahi alun-alun denggung
Tetapi kemarau di pundakku menetap
Sebab di Sabtu sore
Engkaulah hujan yang selalu aku nantikan.


-Dicky Cahyadi-
Sabtu sore, 28 Februari 2015

Par asu t

Parasutku adalah parasutku

Parasutmu adalah parasutmu

~ Terbanglah sebebas-bebasnya bebas ~

Kita tahu

Parasut kita takkan pernah bertemu

Sampai kita berpulang

Bersama senja yang kita rindu
-

(Landas Pacu Paralayang, Bukit Parangndog, Parangtritis, 21 Februari 2015)

Kunang-Kunang

Di ufuk barat,
senja begitu menawan.
Mari persiapkan dian,
tuk terangi malam tuan.
Sementara utara Jogja semakin kelam,
tertutup awan berawan angan.

Tak usah kau cari.
Di balik awan,
Merapi sedang mencumbu merbabu.
~~~

Tak usah kau kenang.
Di balik angan,
Sukmanya hilang dalam cumbu sang malam.
~~~

Memang berat untuk dikenang,
Yang kau butuhkan hanya seekor kunang-kunang,
Tuk menemanimu memberi terang,
Tuk menemanimu di riak genangan,
.................................
(setetes demi setetes)
Sepanjang malam, kawan.


-dicky cahyadi-

Minggu, 01 Februari 2015

Suatu sore di Jakarta Selatan


Duduk manis,
silahkan bercerita.
Duhai nona manis,
yang digenggam derita.
Aku tahu ini miris,
tapi tak apa.
Daripada engkau selalu menahan tangis,
sementara mereka tertawa ria.

(Sore itu gerimis, kendaraan macet tertata,
suara klakson berdendang tragis, membahana di ibukota)

Duduk manis,
silahkan bercerita.
Dunia memang sadis,
tanpa mengenal kita.
Seperti hati kaum proletar yang miris,
berjuang di ibukota.
Kau tahu, nona manis?
Ini Jakarta.

(Sebatang rokokku sudah habis,
matanya masih berkaca-kaca)

Tak ada tempat untuk menangis,
tiap jiwa menggenggam cita.
Tak ada ruang bagi pengemis,
yang selalu meminta cinta.
Kau tahu, nona manis?
Ini Jakarta.
Sebagian kaum berlaku pragmatis,
Hidup demi harta dan tahta.

Duhai nona manis,
lepaskan gundah gulana.
Berhenti menangis,
mari bercinta.


dicky cahyadi - desember 2014

Tentang Bayangan

Menyulam diam dalam kelam
Semakin malam semakin dalam
Kunikmati alam bersama daging haram
Dan tenteram, semakin tajam.

Merasuk perlahan dalam angan-angan
Mengukir kenangan bersama teman-teman
Bermain dengan bintang-bintang menyerupai intan
(Kadang, ada yang kelihatan seperti binatang)
Berkilauan sebelum awan hujan
Datang menghapus bayangan

Bayangan yang perlahan hilang
Senyuman yang perlahan terbang
Menuju sanubari kau telanjang
Kau lukis bayangan kita di atas ranjang
Sambil berayun-ayun, engkau bilang,
"Semalam saja, sayang"
Lalu kau hilang

Segala angan-angan tinggal kenangan.
Tak tersisa walau hanya bayangan.


November 2014