untuk: Sylvia Maria Motoh
Di sebuah tidur,
kumasuki ruang mimpi
di teduhnya matamu.
Ibu,
Tanpamu aku hanya seonggok entah
yang diperolok semesta.
Padamu aku merebah dan tanamkan cinta.
(2015)
Senin, 16 November 2015
Makan Malam
Malam yang dingin seperti biasa,
aku berkeliling desa dengan sepeda pemberian ayah,
hasil dari jerih payah setelah bertahun-tahun
mencoba menjadi anak yang pintar,
pintar melamun dan menuliskan hal-hal yang
tak wajar.
Malam yang dingin seperti biasa,
aku mencari sesuap nasi dan segelas rindu
di warung sendu.
"Tidak usah pakai es," pinta hatiku yang sudah
terlanjur dingin karena terlalu sering bermain
dengan deru angin.
Sementara rindu diaduk, sementara hatiku terketuk.
Di bangku paling ujung,
Aku duduk berhadapan
dengan sepasang bola mata yang teduh.
Hidungnya yang mancung tak pernah lepas
dari tatapan mataku yang sedikit penasaran.
"Mbak pesan apa?" tanyaku.
"Aku pesan segelas puisi," jawabnya merdu.
Tiba-tiba aku tersentak, seakan ada yang bergejolak.
Malam itu, aku makan nasi dan kamu minum puisi.
Kita berdua saja, saling mengisi.
"Semoga bukan untuk saling menangisi," bisikmu sebelum pagi.
(2015)
aku berkeliling desa dengan sepeda pemberian ayah,
hasil dari jerih payah setelah bertahun-tahun
mencoba menjadi anak yang pintar,
pintar melamun dan menuliskan hal-hal yang
tak wajar.
Malam yang dingin seperti biasa,
aku mencari sesuap nasi dan segelas rindu
di warung sendu.
"Tidak usah pakai es," pinta hatiku yang sudah
terlanjur dingin karena terlalu sering bermain
dengan deru angin.
Sementara rindu diaduk, sementara hatiku terketuk.
Di bangku paling ujung,
Aku duduk berhadapan
dengan sepasang bola mata yang teduh.
Hidungnya yang mancung tak pernah lepas
dari tatapan mataku yang sedikit penasaran.
"Mbak pesan apa?" tanyaku.
"Aku pesan segelas puisi," jawabnya merdu.
Tiba-tiba aku tersentak, seakan ada yang bergejolak.
Malam itu, aku makan nasi dan kamu minum puisi.
Kita berdua saja, saling mengisi.
"Semoga bukan untuk saling menangisi," bisikmu sebelum pagi.
(2015)
Minggu, 15 November 2015
Empat Bait dari Muntilan
Dalam balut sinar bulan,
Kita dipertemukan.
Dingin angin tanpa pelukan.
Awal kebersamaan.
Dalam sorot mata seorang perempuan.
Rindu bertebaran.
Dalam cerita tentang persahabatan.
Kalian tak tergantikan.
(2015)
Kita dipertemukan.
Dingin angin tanpa pelukan.
Awal kebersamaan.
Dalam sorot mata seorang perempuan.
Rindu bertebaran.
Dalam cerita tentang persahabatan.
Kalian tak tergantikan.
(2015)
Pada Abad Ketiga
Jogja, 9 Juli 2309
untuk: rindu
Kaukah itu, rindu yang selama ini rebah?
Sembari memandangiku, matamu basah.
Dan akan selalu basah.
Biarkan menjadi lautan:
berlayarlah.
Semoga bahagia sampai tujuan.
(2015)
Langganan:
Postingan (Atom)